SEBERAPA PENTINGKAH SURAT KETERANGAN FISKAL UNTUK KITA???
A. LATAR BELAKANG
Dalam kegiatan pemerintahan di negara kita ada beberapa hal yang membutuhkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sebagai salah satu komponen persyaratan yang harus dipenuhi. Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau sering disingkat dengan KUP, Surat Keterangan Fiskal adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang berisi data pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak untuk masa dan tahun pajak tertentu. Dan penerbitan SKF itu sendiri sebagai alat pendukung Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang sudah mengalami empat (4 ) kali perubahan dan diperbaharui menjadi Peraturan Presiden No 4 Tahun 2015. Merujuk pada Peraturan Presiden No 54 Tahun 2014 pasal 19 ayat 1 huruf (k) menyebutkan:
“Persyaratan pemenuhan kewajiban pajak tahun terakhir dengan penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa dapat diganti oleh Penyedia Barang/Jasa dengan penyampaian Surat Keterangan Fiskal (SKF) yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.” Surat Keterangan Fiskal (SKF) itu sendiri adalah surat yang dikeluarkan oleh direktorat jenderal pajak yang berisi tentang pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak untuk masa dan tahun pajak tertentu.”
Namun apabila kita menelaah kedalam Peraturan Presiden No 4 Tahun 2015 Pasal 19 Ayat 1 huruf ( l ) sebagai peraturan yang terbaru tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah menyebutkan bahwa “peserta pengadaan barang dan jasa memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir.”
Sampai dengan saat ini proses kerja penerbitan surat ketengan fiskal (SKF) memang berjalan sesuai Standart Operational and Procedure (SOP). Namun permohonan atas SKF itu sendiri tidak begitu rutin ditemui karena kebanyakan peserta lebih berminat untuk melampirkan SPT Tahun terakhir sebagai kompenen persyaratan mengikuti pengadaan barang dan jasa karena lebih simpel dan aman karena tidak perlu melalui tahapan kelengkapan berkas pajak dan penelitian pajak oleh pegawai pajak itu sendiri. Artinya peluang untuk peserta yang selama ini dengan mudahnya memanipulasi jumlah nominal setoran pajak dan atau didukung oleh unsur nepotisme panitia penyelenggara terbuka lebar.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu contoh kecil dalam alokasi APBN. Sehingga sudah seharusnya memang benar-benar terkelola dengan baik agar tepat sasaran. Salah satu bentuk pengelolaan tersebut adalah dengan mengawasi dan mengatur secara ketat peserta pengadaan barang dan jasa pemerintah tersebut. Masalahnya yang kita hadapi saat ini adalah pemerintah memberikan kelonggaran dalam pemenuhan persyaratan di bidang perpajakan yaitu melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) atau SPT Tahun Terakhir. Sehingga sebagian besar peserta akan memilih SPT Tahunan untuk dilampirkan. Masalahnya bagaimana pemerintah pusat atau daerah memastikan bahwa peserta tersebut sudah patuh terhadap undang-undang perpajakan hanya dengan melihat secara kasat mata laporan SPT yang bersangkutan.
Ada dua hal yang menyebabkan permasalahan ini terjadi. Pertama, lemahnya Perpres No 4 tahun 2015 yang tidak mewajibkan SKF sebagai syarat mutlak bukan pilihan. Sehingga direktorat jenderal pajak tidak memiliki kesempatan merekomendasikan peserta tender layak atau tidak melalui penelitian sesuai SOP yang ada. Ditambah lagi jumlah Account Representative yang tidak sebanding dengan wajib pajak sehingga tidak memungkinkan seluruh wajib pajak sudah diteliti sebelumnya. Jika saja pemerintah lebih menyempurnakan peraturan yang ada dengan menempatkan SKF sebagai satu komponen yang wajib dipenuhi, sudah dapat kita pastikan bahwa peserta pengadaan barang dan jasa merupakan mereka yang sudah benar-benar lulus uji kompetensi kepatuhan perpajakan. Merujuk pada peraturan presiden tentang pengadaan barang dan jasa yang terbaru jika peserta cukup memiliki NPWP dan SPT Tahunan terakhir maka peluang untuk memanipulasipun terbuka lebar. Misalnya, peserta tender pengadaan barang dan jasa melampirkan salinan STP Tahunan dengan jumlah setoran yang bersangkutan dilaporkan Rp.340.000 (didukung dengan Bukti Penerimaan Berkas).Hanya bermodalkan komponen tersebut yang bersangkutan sudah serta merta berhak menjadi peserta pengadaan barang dan jasa. Sementara jika yang bersangkutan diwajibkan melampirkan SKF maka baik dari aspek tepat waktu menyetor dan melapor, jumlah setoran dan bebas dari tindakan kejahatan perpajakan bisa dibuktikan secara gamblang oleh direktorat jenderal pajak melalui Account Representative. Misalnya dari contoh kasus di atas dengan nominal setoran pajak yang hanya Rp.340.000, ternyata setelah dilakukan penelitian yang bersangkutan seharusnya menyetor ke negara Rp.450.000. Sehingga yang bersangkutan memiliki hutang pajak Rp.110.000 per tahun pajak.
Kedua, kurang memadainya komunikasi dua arah antara pemerintah pusat dan daerah dengan direktorat jenderal pajak (melalui KPP setempat) dalam hal memperketat aturan pengadaan barang dan jasa itu sendiri di bidang perpajakan. Dibeberapa daerah yang benar-benar ketat dalam pengawasan alokasi APBN, pemerintah daerah bekerjasama dengan KPP Pratama setempat mewajibkan SKF sebagai syarat sebagai peserta pengadaan barang dan jasa (sebagaimana juga sudah mulai diterapkan kepada peserta pilkada dan pilcaleg). Namun di daerah lainnya tidak begitu ketat mengingat peraturan induk yang mengatur hal tersebut memberikan opsi kepada peserta untuk melampirkan SPT maupun SKF.
Dengan komunikasi dua arah yang aktif ini baik secara tertulis dan Memorandum Of Understanding (MOU) atau melalui rapat kerja khusus, pada saat akan melakukan pengadaan barang dan jasa pemerintah setempat bisa meminta rekomendasi Kantor Pelayanan Pajak setempat melalui Penerbitan Surat Keterangan Fiskal maupun memberikan rekomendasi secara langsung apakah layak atau tidak dengan menyerahkan daftar peserta pengadaan barang dan jasa pemerintah kepada Kantor Pelayanan Pajak untuk diteliti lebih lanjut. Sehingga dapat dipastikan peserta pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah orang yang layak dan jauh dari unsur nepotisme.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa aturan yang berlaku saat ini masih terlalu lemah sehingga kemungkinan untuk melakukan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa masih sangat memungkinkan. Artinya, seharusnya kita bersama-sama melalui direktorat jenderal pajak tidak boleh hanya memandang peserta pengadaan barang dan jasa sudah patuh dalam hal menyetor dan melaporkan tetapi juga patuh terhadap jumlah seharusnya yang disetor dan patuh terhadap seluruh kebijakan perpajakan.
Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, Surat Keterangan Fiskal seharusnya merupakan suatu hal yang wajib bukan pilihan. Menurut analisa di atas bahwa selain memang aturan yang berlaku masih terlalu lemah, komunikasi dua arah baik verbal maupun melalui sistem informasi komputer, serta jumlah pegawai pajak yang sebanding dengan WP yang dikelolanya.
B. SARAN
Untuk menjawab persoalan tersebut di atas, maka disarankan agar:
a. Direktorat Jenderal Pajak Mengusulkan kepada pemerintah untuk menyempurnakan Perpres No 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mengharuskan peserta memiliki Surat Keterangan Fiskal
b. Direktorat Jenderal Pajak memperbaiki komunikasi dua arah dengan pemerintah pusat/ daerah misalnya dengan membuat Memorandum Of Understanding (MOU) yang mengikat pemda untuk mewajibkan SKF kepada peserta pengadaan barang dan jasa maupun mengikutsertakan direktorat jenderal pajak (melalui KPP setempat) setiap kali diadakan tender pengadaan barang dan jasa
c. Jika kedua hal diatas tidak mungkin dilakukan maka direktorat jenderal pajak sebaiknya menambah jumlah pegawai Account Representative sehingga memungkinkan secara rutin dan tersistem untuk melakukan penelitian kepatuhan dan keakuratan laporan pajak dari wajib pajak yang dikelolanya.
Penulisan Artikel ini semata-mata hanya pendapat Penulis sendiri dari sudut pandang dan pemahaman sendiri.
Salam,
L Samosir